Feeds RSS
Feeds RSS

❀ Followers ❀

Rabu, 23 November 2011

Tolong di review yaaaaa :)

Senyuman Terakhir :’)

“Segera aku melupakan dirinya…”

Lagu Dilema terus berulang kali berputar di kamarku. Mungkin, sudah hampir lima kali. Hahahah.. maklum, itu lagu kesukaanku. Saat sedang asyik-asyiknya nge-dance, Bunda memanggilku dengan suara ‘Rock ‘n Roll-nya’.

“Ara..Ara!” panggil Bunda dengan menyebut nama keciku.

“Apa sih, Bun?” jawabku cemberut.

“Sudah sore ini, lhoo.. kasihan tanamanmu! Cepat siram sana!”

“Huft.. iyaiya.”

Aku beranjak dengan malas menuju taman kecil di depan rumah. Setelah menghubungkan selang ke kran air, segera kusiram tanaman-tanaman itu. Tiba-tiba, seorang laki-laki membawa sepeda polygon abu-abu berhenti dan kemudian sapaan manis keluar dari mulutnya untukku.

“Cemberut aja neng??” sapanya.

“Ihh.. genit deh!” jawabku sedikit mengejek. “Gak kok!!”

“Jangan bohong ah..” jawabnya kembali sambil mencubit pipiku.

“Sakit abang!!” kupukul tangannya.

“Gemes adekku sayang.”

“Udah udah.. pergi sana! Lagi sibuk!” suruhku, dan abang langsung menurutinya. Heheheh.. kawan! Kenalan sama abangku yuk! ARSYAD ZAKLY BAHTIAR itulah namanya. Sebut saja dia Kak Tiar. Nyebelin, ganteng, dan enak diajak cerita.. kurasa itu sifatnya. Sebagai adik, aku sangat ssssaaaaayyyyaaanngg padanya. Kak Tiar selalu ada saat aku sedang sedih maupun senang. Kesukaannya ialah memanjakanku. Sering kuucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberi anugerah terindah lewat Kak Tiar kepadaku. Tiba-tiba, Kak Tiar datang lagi menghampiriku.

“Ara..” panggil Kak Tiar.

“Apalagii??”

“Nanti malam, kakak mau ngomong. Boleh yaa?” kata Kak Tiar.

“Ngomong apa? Pentingkah?” jawabku cuek.

“Udah deh.. nanti aja!” suruh Kak Tiar.

“Okelah.” Sahutku sambil mengacungkan jempol pada Kak Tiar.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, saatnya aku belajar. Kuambil buku-buku untuk pelajaran besok. Yeyy!! Teriakku dalam hati. Tak ada tugas! Hanya mengulang sedikit saja! Hufftt.. akhirnya.. legaa!!

Tak beberapa lama setelah itu..

“Tok tok tok!!” pintu kamarku berbunyi, tanda ada seseorang di luar yang ingin bertemu denganku.

“Siapa?” tanyaku lantang.

“Abang, dek.” Jawabnya.

“Masuk bang, gak dikunci kok!” suruhku. Tanpa basa-basi, Kak Tiar pun masuk dengan wajah yang sangat senang sekali. Aku heran melihatnya. “Tak seperti biasanya.” Gumamku.

“Ada apa kak? Butuh bantuan Ara?”

“Emmmm, cubit rutin dulu boleh?” izin Kak Tiar iseng.

“Ihh, mulai deh!” jawabku cemberut.

“cubit cubit cubit cubit..” Kak Tiar sangat begitu senang jika sedang menyubitku. Tak tahu kenapa.

“Udah dong!!” pintaku. “Kak Tiar kesini mau ngapain?”

“Kakak mau pinta pendapat adek.” Pinta Kak Tiar.

“Tentang apa kak?” tanyaku penasaran.

“Teman Kakak dua hari lagi akan mengadakan pesta ulang tahun, Kakak bingung mau ngasih kado apa dek..” jelas Kak Tiar.

“Temannya cewek apa cowok kak?”

“Cewek dek. Dia deket banget sama Kakak. Kakak ingin di hari spesialnya nanti, Kakak bisa lihat senyum puas saat ia menerima kado dari kakak.” Sahut Kak Tiar.

“Kalo Ara sih pinginnya boneka, apalagi yang warnanya ungu. Mungkin itu cocok buat kado kak!” jawabku memberikan pendapat.

“Gitu yaa dek? Okelahh.. Ara mau gak temani Kakak cari boneka?” ajak Kak Tiar.

“Dengan senang hati, apa sih yang gak buat Kak Tiar ku tersayang ini!” rayuku sambil cengengesan.

“Gombal!” ejek Kak Tiar.

“Biar.. Eh, itu kado buat pacar baru ya? Kenalin dong!” rengekku.

“Gak deh! Anak kecil gak boleh tau!”

“Awas ya kamu, kak! Ara bilangin Bunda baru tahu rasa!” ancamku.

“Gak takut tuh.” Jail Kak Tiar sambil menjulurkan lidahnya juga kembali menyubit pipiku. “Ara, nanti malam Kak Tiar boleh tidur bareng Ara ya? Kakak kangen loo..” ingin Kak Tiar.

“Ada apa dengan Kak Tiar? Hari ini sikap Kak Tiar terasa berbeda padaku.” Gumamku kembali pelan.

“Ar, kok bengong?” Kak Tiar membangunkan lamunanku.

“Ehmm.. iiiiiyyyaa kak, boleh kok.” Jawabku tergagap. “Tapi, tidur di bawah yaa?”

“Okee.” Kata Kak Tiar sambil mengedipkan mata. “Ambil bantal guling kamar dulu yaa?”

“He.em.” jawabku pendek.

Pukul sembilan malam telah ditunjukkan oleh weker berwarna ungu yang terletak di atas meja belajar. Saatnya aku dan Kak Tiar siap untuk tidur. Tapi, Kak Tiar belum juga datang ke rumahku. 20 menit sudah aku menunggu Kak Tiar. Hhhooaaaamm.. tak tertahankan rasa kantuk ini, dan akhirnya dengan terpaksa kupejamkan mataku. Tak lama setelah aku terlelap, pintu kamarku terbuka. Masuklah orang yang sedang kutunggu-tunggu, Kak Tiar. Kak Tiar mendekat ke ranjangku. Lalu, ia menyelimut tubuhku. “Kak Tiar sayang Ara selamanya.” Begitu bisiknya. Kecupan manisnya mendarat di keningku malam itu.

Esoknya, tepat jam 3 sore, sesuai dengan rencana, Aku dan Kak Tiar akan pergi membeli hadiah dengan menaiki sepeda motor milik ayah.

“Sudah siap kak?” tanyaku.

“Sudah Ar! Yok cabut!” ajak Kak Tiar.

“Bunda, Ayah, Tiar sama Ara berangkat dulu yah!” pamit kami kepada Ayah dan Bunda yang sedang asyik nge-the di ruang tamu.

“Hati-hati yah, Tiar!” pesan Bunda. Setelah itu, segera Kak Tiar tancap gas menuju toko boneka di pusat kota. Sepanjang jalan, Kak Tiar menjalankan sepeda dengan sangat cepat. Itu yang membuatku takut dan memeluk Kak Tiar erat-erat. Kak Tiar hanya tertawa saat mendengar teriakanku agar mengurangi kecepatannya berkendara.

Toko Mutiara. Itulah toko yang kami tuju, sebuah toko boneka yang cukup terkenal di kota dimana kami tinggal. Setelah Kak Tiar memarkir sepeda motor, kami pun memasuki toko tersebut. Boneka-boneka yang nge-tren di kalangan remaja saat ini terpampang di depan toko itu. Sungguh rasanya aku ingin memiliki semua boneka itu.

“Ara, mau boneka yang mana?” tawar Kak Tiar.

“Kok Ara sih? Bukannya kita kesini mau beli kado buat temennya Kak Tiar?” aku balik bertanya.

“Kakak yakin, apa yang jadi pilihannya Ara, pasti cocok di mata teman Kak Tiar itu.” Kata Kak Tiar meyakinkanku.

“Ahh, yang bener kak?” tanyaku kembali sedikit bingung.

“Bener, suer deh!! Sekarang terserah Ara mau pilih yang mana deh, yayaya?” Akhirnya aku menerima tawaran Kak Tiar. Kubalas senyuman manis yang terdapat di wajah Kak Tiar. Setelah lama memilih-milih, akupun menempatkan pada satu pilihan, yaitu boneka Teddy Bear berwarna coklat. Kak Tiar pun menyetujui pilihanku dan segera membayarnya ke kasir.

“Mana kak bonekanya?”

“Kak Tiar titipin ke tokonya.” Jawab Kak Tiar singkat.

“Loh? Uangnya Kak Tiar kurang?”

“Gak dek, Kak Tiar minta natar oesan (order).”

“ohh..”

“Yukk, pulang!” ajak Kak Tiar.

Dalm perjalnan pulang, Kak Tiar dan aku hanya diam \. Aku memeluk Kak Tiar erat-erat dengan maksud agar aku tidak terjatuh. Tiba-tiba, hujan yang tidak diundang turun dengan seketika. Begitu deras mengguyur kami.

“Kak, apa kita nggak berhenti dulu untuk berteduh?”

“Gausa Ar, Kakak bisa handdle kok. Pegangan yang kuat ya!” begitu kata Kak Tiar, dan aku hanya menurutinya. Semakin, semakin, dan semakin deras hujan yang turun kala itu. Jalanan yang sangat licin membuat Kak Tiar agak sedikit mengurangi kecepatannya. Aku hanya bisa berdoa agar aku bisa selamat sampai tujuan.

Sampai di Jalan Sudirman yang berkelok-kelok, Kak Tiar sempat oleng karena jalanan sangat licin. “Hati-hati kak.” Hanya itu yang selalu terlontar dari mulutku. “Iya, sayang.” Jawab Kak Tiar sambil terus tersenyum. Tak lama kemudian, mobil Grand Max yang semula berada di belakang kami, menyalip dari sisi kanan Kak Tiar. Kak Tiar kaget dan “AAAAAAAAAAAAA!!” teriak kami berdua. Kecelakaan pun tak terhindarkan lagi.

Suara mobil ambulance terus berbunyi, membawa kami menuju rumah sakit terdekat. Setelah sampai rumah sakit, Aku dan Kak Tiar diletakkan di ruangan berbeda. Rasa sakit dan nyeri pada tubuhku terus datang, tapi terkalahkan oleh rasa khawatirku pada Kak Tiar. Setelah siuman…

“Bunda..” panggilku.

“Iya sayang,” jawab Bunda sambil menangis. “Jangan terlalu banyak gerak dulu.”

“Bagaimana keadaan Kak Tiar? Ara pengen lihat..” rengekku. Dengan menggunakan kursi roda, aku dan Bunda pergi menuju kamar dimana Kak Tiar dirawat. Ternyata Kak Tiar ditempatkan di ruan ICU. Aku sempat kaget dengan semua ini, air mataku pun jatuh satu per satu. Setelah sampai, segera aku menuju ranjang Kak Tiar.

“Kak Tiar gapapa kan?” sapaku dengan memegang tangan Kak Tiar.

“Ara jangan nangis dong! Doakan aja Kak Tiar sehat lagi, terus bisa nemenin Ara jalan-jalan.” Jawab Kak Tiar dengan senyuman manisnya.

“Pasti kak.” Balasku.

Lama aku berbincang-bincang dengan Kak Tiar, tiba-tiba Kak Tiar tak sadarkan diri. Aku bingung harus berbuat apa kala itu. Segera aku berteriak memanggil dkter dan susuter yang lewat.

“Tolong selamatkan Kak Tiar, dokter.” Pintaku sambil menangis.

Sudah 30 menit lamanya, dokter tidak kunjung keluar dari kamar Kak Tiar. Dan..

“Keluarganya mas Tiar mana?” tanya dokter.

“Saya adiknya, dok. Ayah dan Bunda sedang menebus obat di apotek. Bagaimana keadaan Kak Tiar? Baik-baik saja kan?” yakinku Kak Tiar jauh lebih baik. Tapi…

“Maaf, kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi apa daya.. tuhan berkehendak lain.”

“Dokter bercanda kan? Iya kan?” tanyaku tak yakin. “Ya Allah, mengapa kau ambil Kak Tiar secepat ini?” Gumamku sambil menangis. Segera aku memasuki kamar Kak Tiar dan menangis sekencang-kencangnya, aku rasa, ini bagaikan mimpi. Kucium tanagn dan pipi Kak Tiar. Kulihat wajah Kak Tiar tersenyum bahagia. Tak lam Ayah dan Bunda memasuki pun memasuki kamar Kak Tiar. Reaksi mereka sama sepertiku. KAGET!

Esoknya, bendera kuning telah berkibar. Para pelayat lalu lalang di rumahku. Aku hanya diam merenung di dalam kamar Kak Tiar. Aku tak perduli pada keadaan di luar rumah. Aku memandangi seluruh kamar itu dan kembali menangis. “Ya Tuhan, secepat inikah kau ambil anugerah terindahku?” Sesaat, aku tertuju pada sebuah kalender yang terletak di samping lemari. Aku melihat tanggal yang telah diberi memo oleh Kak Tiar. Tanggal itu adalah tanggal 27. Disitu tertulis “Ara’s Birthday”. Aku lupa sesuatu! Hari ini adalah hari ulang tahunku. Mungkin ini adalah ulang tahun yang sangat tragis. Bagaimana tidak? Hari ulang tahunku ini tepat dengan hari meninggalnya Kak Tiar. Tiba-tiba Bunda memanggilku.

“Ara, keluar nak!” suruh Bunda.

“Ada apa Bun? Ara masih pingin disini.” Jawabku.

“Ada kiriman hadiah, sayang”

“Dari siapa?” jawabku malas.

“Turunlah sayang.” Kuturuti permintaan Bunda. Segera aku turun menuju ruang keluarga. Terlihat boneka besar yang aku beli dengan Kak Tiar kemarin. Aku bertanya-tanya dalam hati. Ok bisa terkirim kesini? Mengapa tidak ke rumah teman Kak Tiar? Kubuka kartu ucpannya.

Happy Birthday Ara!! *cubitcubit*

Semoga panjang umur dan sehat selalu! Tetep jadi adek kakak yang paling chubby yaa!! Biar kakak bisa cubitin ara terus :D

Maaf, kakak udah bohong.. Sebenarnya, kado ini untuk Ara kok! Hehehe, Love you so much Araa :* :*

Your Prince

AZ. Bahtiar

Kembali aku menangis dan memeluk boneka itu. Hati kecilku berkata “Kak Tiar, maafin Ara! Ara belum bisa kasih yang terbaik untukmu. Terima kasih buat semua kasih sayang yang kau berikan untuku. Ini menjadi kenangan yang tak terlupakan.” Sungguh, sesak dada ini!

Setelah itu, ayah mengajakku ke pemakaman Kak Tiar. Sepanjang jalan, pelukan Ayah menenangkan tangisanku. “Ada hikmah dibalik semua ini, Ra! Yang sabar!” kata Ayah berulang kali. “Ikhlaskan kakakmu biar jalannya lancar.”

“Insyaallah.” Jawabku masih menangis. Tapi, tetap aku mencoba untuk tersenyum ikhlas di depan jasad Kak Tiar. Terima kasih ya Tuhan, telah memberikan anugerahmu. Bahagiakan kakakku di sana. Jangan hapus senyumnya, ya Tuhan. Sampaikan pula, bahwa aku sangat sayang padanya sampai kapanpun. Selamat Jalan Kak Tiar! Love you too so much :* :’)



0 komentar:

Posting Komentar